JL. SRIKANDI NO.2 CAKRA MATARAM, NTB-INDONESIA
MONDAY - FRIDAY 08:00-17:00
+(62)370-637-299
+(62) 818-0200-7676

News & Articles

  • LILO CONSULTANTS

Kemenkeu Siapkan Perluasan Insentif PPh 21 DTP 2025:

Langkah Pro-Rakyat atau Stimulus Sesaat?


Jakarta, Oktober 2025 — Di tengah tekanan inflasi dan upaya menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyiapkan perluasan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk tahun pajak 2025. Langkah ini menjadi bagian dari paket kebijakan fiskal pro-rakyat yang diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat dan menopang konsumsi rumah tangga di tengah pemulihan ekonomi nasional.

Dalam rancangan kebijakan tersebut, pajak penghasilan yang biasanya dipotong dari gaji pegawai akan ditanggung oleh pemerintah. Dengan demikian, pegawai akan menerima penghasilan penuh tanpa potongan pajak. Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari program serupa yang telah diterapkan sebelumnya, namun kini cakupannya diperluas ke sektor pariwisata, yang dinilai memiliki efek berganda tinggi terhadap perekonomian daerah.

Perluasan insentif ini diumumkan oleh Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 12 September 2025, dan saat ini sedang difinalisasi dalam bentuk Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) sebagai perubahan atas PMK No. 10/2025. “Tujuan utama kami adalah menjaga daya beli masyarakat sambil mendukung sektor pariwisata agar terus tumbuh pasca-pandemi,” ujar salah satu pejabat Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

Fasilitas PPh 21 DTP ini akan diberikan kepada pegawai di sektor alas kaki, tekstil, pakaian jadi, furnitur, kulit, dan pariwisata. Untuk sektor pariwisata, terdapat 93 klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang mencakup hotel, restoran, bar, biro perjalanan, MICE, taman wisata, wisata air, wisata selam, pusat kebugaran, spa, dan karaoke.

Adapun sasaran penerima mencakup:

  • Pegawai tetap dengan penghasilan bruto maksimal Rp10 juta per bulan, dan
  • Pegawai tidak tetap dengan upah harian hingga Rp500 ribu atau penghasilan bulanan setara Rp10 juta, selama memiliki NPWP atau NIK terintegrasi, serta tidak sedang menerima fasilitas DTP lainnya.

Kebijakan ini berlaku selama tiga bulan, yakni Oktober hingga Desember 2025 . Perusahaan penerima wajib membayarkan gaji tanpa potongan pajak, menerbitkan bukti potong, serta melaporkan pemanfaatan fasilitas melalui SPT Masa PPh 21 setiap bulan. Pemerintah juga menyiapkan mekanisme kompensasi melalui sistem DJP Online, agar perusahaan dapat mengklaim nilai PPh 21 yang telah ditanggung pada masa pajak berikutnya.

Dari sisi ekonomi, insentif ini diharapkan dapat meningkatkan take-home pay pekerja dan mendorong konsumsi rumah tangga, terutama di sektor padat karya dan jasa wisata. Efek lanjutannya diharapkan menciptakan multiplier effect ekonomi lokal di daerah tujuan wisata seperti Lombok, Bali, Jakarta, dan Yogyakarta.

Jika jumlah penerima manfaat mencapai sekitar dua juta pekerja, potensi biaya fiskal program ini diperkirakan mencapai beberapa triliun rupiah selama triwulan IV 2025. Meski relatif kecil dibandingkan total belanja negara, kebijakan ini dipandang strategis untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi berbasis konsumsi.

Namun demikian, sejumlah ekonom menilai efektivitas kebijakan ini masih terbatas karena sifatnya yang temporer. Kebijakan PPh 21 DTP bersifat konsumtif dan sementara, berbeda dengan insentif investasi yang memperluas kapasitas produksi.

Tanpa perbaikan iklim usaha, manfaatnya berpotensi berhenti di tingkat konsumsi rumah tangga tanpa memperkuat sisi penawaran ekonomi. Meski begitu, bagi pekerja pariwisata yang baru pulih dari krisis pandemi, tambahan pendapatan bersih selama tiga bulan tetap menjadi angin segar bagi daya beli dan kebutuhan rumah tangga.

Dari sisi implementasi, tantangan utama muncul pada kesiapan administrasi dan integrasi data perpajakan. Perusahaan wajib memastikan kesesuaian KLU sesuai masterfile Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan memastikan integrasi NPWP–NIK berjalan lancar. Integrasi data yang masih dalam tahap transisi berpotensi menimbulkan hambatan, terutama bagi usaha mikro dan kecil yang belum sepenuhnya terdigitalisasi.
Selain itu, mekanisme kompensasi pajak bagi pemberi kerja masih perlu diperjelas agar tidak menimbulkan kebingungan administratif. Tanpa penyederhanaan proses pelaporan, beban administrasi justru bisa meningkat bagi pelaku usaha kecil.
Dari sisi pengawasan, potensi moral hazard juga menjadi perhatian. Tanpa kontrol yang memadai, fasilitas ini berisiko disalahgunakan oleh perusahaan yang tidak menyalurkan manfaat penuh kepada pekerja. Koordinasi lintas instansi menjadi kunci agar kebijakan ini tepat sasaran dan akuntabel.

Secara konseptual, PPh 21 DTP merupakan bentuk kebijakan fiskal ekspansif berbasis konsumsi, di mana pemerintah menanggung pajak untuk meningkatkan pendapatan bersih masyarakat. Langkah ini sejalan dengan arah politik fiskal 2025 yang menekankan pada penguatan ekonomi kerakyatan dan pemerataan kesejahteraan.
Namun, ruang fiskal pemerintah semakin terbatas di tengah kebutuhan pembiayaan yang meningkat. Oleh karena itu, efektivitas kebijakan ini akan sangat bergantung pada disiplin pelaporan, transparansi administrasi, dan koordinasi antarinstansi fiskal.

Stimulus atau Solusi Jangka Panjang?
Perluasan PPh 21 DTP 2025 menunjukkan komitmen pemerintah menggunakan instrumen pajak sebagai alat pemerataan, bukan sekadar sumber penerimaan negara. Jika dijalankan secara transparan dan disertai reformasi struktural, kebijakan ini dapat menjadi salah satu sukses fiskal 2025. — memperkuat daya beli sekaligus mendorong pemulihan sektor riil. Namun, tanpa kesinambungan kebijakan dan perbaikan iklim investasi, PPh 21 DTP berisiko menjadi stimulus sesaat yang hanya menjaga konsumsi tanpa memperbaiki fundamental ekonomi.

Kebijakan ini pada akhirnya menjadi ujian konsistensi pemerintah dalam menyeimbangkan kepentingan fiskal dan kesejahteraan rakyat di tengah ketidakpastian ekonomi global.

LILO CONSULTANTS – From Property to PMA, We’ve Got You Covered

✴️ Translate ke Bahasa Inggris